7.40 - 9.30 malam.
Wacana 2
MENINGGALKAN PERKARA MUBAH
Ali al-Murshifi menyatakan bahwa
seorang murid tidak akan bisa mencapai maqam tinggi, hingga ia mampu
meninggalkan perkara mubah untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan – perbuatan
sunnah. Perbuatan mubah, menurut Ali Al-Khowash, pada dasarnya adalah
diciptakan hanya sebagai "selingan" atau tempat istirahat bagi
manusia, setelah melakukan beban berat yang diberikan Tuhan. Hal ini disebabkan,
pada diri manusia memang ada rasa bosan. Bila tidak, Allah tidak akan
memberikan hukum mubah pada manusia; sebagaimana malaikat yang tidak kenal
bosan. Mereka selalu bertasbih kepada Allah, tanpa rasa bosan). Karena itu,
para ulama menyatakan, orang yang menggunakan rukhshoh (keringanan hukum yang
diperbolehkan; perkara mubah), tidak akan mendapatkan apa-apa dalam jalan
thoriqot.
Dalam thoriqot, para guru pembimbing
biasanya menuntut para muridnya untuk sedapat mungkin meninggalkan perkara
mubah. Minimal mengurangi, untuk kemudian menggantinya dengan
perbuatan-perbuatan sunnah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kedudukannya
disisi Allah. Bila seseorang tidak menemukan bentuk ketaatan sebagai pengganti
mubah, maka dalam perbuatan mubah tersebut; seperti makan dan minum, harus
diniatkan untuk sesuatu yang baik. Misalnya, makan agar kuat ibadah dan
bercakap-cakap untuk menghilangkan kemasaman muka terhadap teman.
Para guru juga menuntut para murid,
untuk tidak tidur kecuali setelah sangat kantuk, tidak makan kecuali setelah
sangat lapar, tidak berbicara kecuali ada kebutuhan, dan lain-lain. Ini
dimaksudkan, agar murid mendapat pahala dari semua perbuatannya. Selain itu,
para guru juga menuntut para murid agar tidak sampai mimpi basah karena
pikiran-pikiran yang muncul sebelumnya, tidak menselonjorkan kaki, tidak
istirahat kecuali pada saat sangat lelah dan tidak makan makanan yang disenangi
walau itu diperbolehkan. Sebab, semua itu bisa menghalangi seseorang untuk naik
pada kedudukan yang lebih tinggi. Dalam kitab Zabur difirmankan; "Hai
Daud. Peringatkan kaummu dari makan makanan yang mereka senangi. Sesungguhnya,
hati yang dikendalikan kesenangan (syahwat) menghalangi hubungannya dengan
Aku".
Bila makan makanan yang disenangi bisa menolak
seseorang dari Hadlirat Ilahy, maka begitu pula dengan menselonjorkan kedua kaki
tanpa ada kebutuhan yang sangat. Keduanya termasuk suul-adab (tidak baik). Ali
Al-Khowash pernah menyatakan, seorang murid tidak akan mencapai maqom siddiq
kecuali dengan menambah pengagungannyadalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan Tuhan; melaksanakan sunnah seolah wajib, meninggalkan makruh
sebagaimana haram dan meninggalkan perkara haram sebagaimana kekufuran. Setelah
itu, meniatkan semua perbuatan mubahnya untuk kebaikan, sehingga mendapat
pahala. Misalnya,tidur siang dengan niat agar kuat sholat malam, makan makanan
yang enak untuk mengobati keinginan nafsu ketika sulit diajak ibadah,
menggunakan pakaian bagus demi memperlihatkan nikmat Allah dan lain-lain. Jadi
bukan untuk bersombong-sombong.
Sejalan dengan itu, Abu Hasan
As-Syadzili pernah berkata kepada para muridnya; "Makan dan minumlah
kalian dari makanan dan minuman yang enak. Tidurlah diatas kasur yang empuk.
Dan berpakaianlah dengan pakaian yang bagus. Bila saat memakai, kalian
mengucapkan "Al-Hamdulillah", maka seakan ikut bersyukur pula seluruh
anggota badan”.
Ini berbeda bila kalian makan dari
makanan roti kasar, minum air asin, tidur pada tempat yang kotor dan berpakaian
dengan pakaian murahan. Saat mengucapkan "Al-Hamdulillah", hati masih
ada rasa 'protes' dan mengerutu. Padahal, kalau ia mengerti hakekatnya,
memprotes dan mengerutu adalah lebih besar dosanya daripada bersenang-senang
dengan kenikmatan dunia. Sebab, bersenang-senang berarti masih dalam batas
melakukan sesuatu yang diperbolehkan, sedang menggerutu dan benci berarti
melakukan sesuatu yang dilarang".
( TQ, http://duniapesantrensalafiyah.blogspot.com/2015/12/minahus-saniyah-terjemah.html)